BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada
mulanya kegiatan studi kegamaan dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Kebanyakan
orang berkata; agama tidak boleh diteliti karena agama adalah wahyu Allah yang
tidak bisa diutak-atik lagi. Inilah yang menyebabkan penelitian agama di
Indonesia pada awal tahun 70-an dianggap sesuatu yang tabu.
Akan
tetapi, agama sebagai seperangkat wahyu harus dapat difungsikan dan dirasakan
sebagaimana mestinya. Manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang
dikandung di dalamnya. Oleh karena itu, manusia harus melakukan apresiasi
intelektual atau penelitian ilmiah atas agama dengan ditopang oleh suatu
kerangka metodologi yang tepat.[1]
Seiring
perkembangan zaman, akhirnya, sebagian besar orang telah memahami bahwa agama
bias diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Kini,
penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang
berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan.
Mengkaji
fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan
beragamanya. Fenomena keagamaan itu sendiri, adalah perwujudan sikap dan
prilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang
beralasan dari suatu keghaiban. Ilmu pengetahuan social dengan caranya
masing-masing, atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati dengan
cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsure yang menjadi
komponen terjadinya perilaku itu, Sosiologi menyorotinya dari sudut posisi
manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan Antropologi memperhatikan
terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam
kehidupan manusia.[2]
Kalau kita mencoba menggambarkannya dalam pendekatan Sosiologi, maka
fenomena-fenomena keagamaan itu berakumulasi pada perilaku manusia yang
berkaitan dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki.[3]
Pada hakekatnya penelitian diawali
dari hasrat keingintahuan peneliti yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan atau
permasalahan. Setiap pertanyaan atau per-masalahan tersebut perlu jawaban
atau pemecahan. Dari jawaban dan pemecahan tersebut peneliti memperoleh
pengetahuan yang benar mengenai suatu masalah. Pengetahuan yang benar adalah
yang dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Untuk memperolehnya
harus mengikuti kaidah-kaidah dan menurut cara-cara bekerjanya akal yang
disebut logika, dan dalam pelaksanaannya diwujudkan melalui penalaran..
Pengetahuan yang benar tersebut disebut juga pengetahuan ilmiah atau ilmu.
Dengan demikian penelitian ilmiah adalah suatu metode ilmiah untuk
memperoleh pengetahuan menggunakan penalaran. Penalaran tersebut dilaksanakan
melalui prosedur logika deduksi dan induksi. Dengan pengetahuan tersebut dapat
digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk pengembangan pengetahuan
dan teknologi, perencanaan pembangunan dan untuk pemecahan masalah-masalah
dalam kehidupan manusia.
Penelitian atau research
berasal dari kata re dan to search yang berarti mencari kembali yang menunjukkan
adanya proses berbentuk siklus bersusun yang selalu berkesinambungan..
Penelitian dimulai dari hasrat keingintahuan dan permasalahan, dilanjutkan
dengan pengkajian landasan teoritis yang terdapat dalam kepustakaan untuk
mendapatkan jawaban sementara atau hipotesis. Selanjutnya direncanakan dan
dilakukan pengumpulan data untuk menguji hipotesis yang akan diperoleh
kesimpulan dan jawaban permasalahan. Dalam proses pemecahan masalah dan dari
jawaban permasalahan tersebut akan timbul permasalahan baru, sehingga
akan terjadi siklus secara berkesinambungan.
Berawal dari gambaran di atas,
penulis akan menjelaskan tentang Dasar-dasar Pelaksanaan Penelitian; 1) Dasar
Teologis-Normatif, 2) Dasar Ilmu
Pengetahuan, dan 3) Postulat dan Asumsi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
dari latar belakang di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
pelaksanaan penelitian dengan dasar Teologis-Normatif?
2.
Bagaimana
pelaksanaan penelitian dengan dasar Ilmu Pengetahuan?
3.
Bagaimana
pelaksanaan penelitian dengan dasar Postulat dan Asumsi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Dasar Teologis-Normatif
1.
Pengertian
Teologis Normatif
Teologi secara harfiah berarti teori/studi tentang tuhan.[4] Sedangkan
dalam kamus bahasa Indonesia; Teologi adalah pengetahuan ketuhanan (mengenai
sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan Agama, terutama berdasarkan
pada kitab suci. Teologis adalah berhubungan dengan teologi; berdasar pada
teologi.[5]
Menurut Amin Abdullah, Teologi ialah suatu ilmu yang membahas
tentang keyakinan, yaitu sesuatu yang sangta fundamental dalam kehidupan
beragama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otiritatif, di mana semua
hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis, dan
jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus dimenangkan.[6]
Dalam penelitian agama, teologi yang dimaksud adalah pembebasan
materi tentang eksistensi Tuhan dalam sebuah konsep nilai-nilai ketuhanan yang
terkonstruksi dengan baik sehingga pada akhirnya menjadi sebuah agama atau
aliran kepercayaan.
Adapun Normatif adalah bersifat umum dan lazim; keharusan; menurut
norma; prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada
umumnya untuk hidup bermasyarakat.[7] Jadi, teologis normatif dalam
memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan
bahwa wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya.
Pendekatan teologis dalam memahami
agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog yang saling menyalahkan dan
mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi pembagian-pembagian umat, tidak
ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis
ini agama dapat menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial cenderung menjadi
lambang atau
identitas yang tidak
memiliki makna. Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok
dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam
pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan,
tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini,
agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
Pendekatan teologis dalam memahami agama
menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari
keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal
dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih
dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan
dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya
kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui
kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan teologis
normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni
berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa
memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian
seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya.
Pendekatan teologis ini selanjutnya
erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang memandang
agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum
terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama
dilihat dari suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun
dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan
seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif
pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, tolong-menolong, tenggang rasa,
persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil
mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi
setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.
2.
Dasar
Teologis-Normatif
Pendekatan teologis adalah pendekatan yang menekankan pada
bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau
simbul-simbul keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar
semertara pihak lain dianggap kurang benar dan bahkan salah. Sedangkan pendekatan
normatif adalah pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok
dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran
manusia.
Pendekatan teologis normative merupakan salah satu
pendekatan teologis dalam upaya memahami agama secara harfiah. Berikut ini, ada
beberapa yang menjadi dasar dalam teologis normative diantaranya:
a.
Truth Claim (klaim kebenaran) hanya ada pada ajarannya. Hal ini
memiliki korelasi dengan logika Aristoteles yang bersifat clear-cut,
hitam-putih dan salah-benar, hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan
tentang kebenarannya sendiri.
b.
Partikularistik, artinya mengutamakan kepentingan pribadi di
atas kepentinngan umum. Mementingkan daerha atau sukunya masing-masing
(sukuisme).
c.
Teosentris, menurut Amin Abdullah masih didominasi oleh
pemikiran yang bersifat transcendental-spekulatif yang kurang menyinggung
masalah-masalah insaniyat (humaniora) yang meliputi kehidupan social,
politik dan lain sebagainya.[8]
d.
Formalistik, menekankan bentuk forma atau symbol-symbol
keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinya yang paling benar, sedangkan
yang lainnya salah.
e.
Intoleran, tidak menghargai pandangan atau kepercayaan orang
lain yang berbeda atau yang bertentangan dengan dirinya.
f.
Deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan
yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan
sudah pasti benar sehingga tidak perlu diperytanyakan terlebih dahulu,
melainkan dimulai daari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil
dan argumentasi.
Pendekatan Teologis Normatif oleh Charles J. Adams
diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Pendekatan Missionaris Tradisional, Pada abad 19, terjadi
gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan
sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan
kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis
dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan
Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat
agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban
Barat.
Untuk
mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk
membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat
setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah
setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan
masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok
itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen)
mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.
Dalam konteks itu karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris
Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat
dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat
pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan
missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.
2. Pendekatan Apologetik. Di
antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah
“keasyikannya” (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama.
Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran
keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India,
cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan apologetik.
Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas
umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada
kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran
seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari
jerat penjajahan peradaban Barat.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi
yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal.
Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya
diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam
konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan
Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam
kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam
tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan
kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha
membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik
dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan
membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa
apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik
menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang
pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik,
rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi.
3.
Pendekatan Irenic. Yang ketiga ini ada semacam usaha
untuk membuat jembatan antara cara pandang para orientalis terdahulu yang penuh
dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para
orientalis tersebut banyak mengandung penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah
melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg,
seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri
tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup
berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus
tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam.
Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap
kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah
W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan
tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas
(perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan
karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous
exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.
B.
Dasar Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah terjemahan dari kata science,
yang berasal dari kata scinre, artinya to know. Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan
gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[9]
Ilmu menurut Hadari Nawawi “ kebenaran yang diungkap secara mendalam dengan
tidak terlalu menghiraukan kegunaannya menghasilkan pengetahuan.[10] Pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui; kepandaian.[11] Jadi,
Ilmu pengetahuan merupakan suatu usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, sesuatu yang
berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun
dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi: “Ilmu pengetahuan
sebenarnya tidak lain adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan
pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara harmonic
dalam suatu bangunan yang teratur.[12]
Dari defenisi di atas semakin jelas bahwa ilmu selalu mulai dari
sesuatu yang kongkrit atau sesuatu yang dapat diamati dan bersifat individual
atau khusus. Selanjutnya dengan bantuan kemampuan berfikir yang dapat melampaui
batas waktu dan ruang statistika, ilmu dapat sampai pada sesuatu yang abstrak
dan bersifat umum. Untuk itu, demi obyektifitas ilmu yang diungkapkan, orang
harus bekerja dengan cara-cara ilmiah.
Sifat ilmiah di dalam ilmu dapat diwujudkan apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Ilmu
harus mempunyai objek, karena kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai
adalah persesuaian antara yang diketahui dengan obyeknya.
2.
Ilmu
harus mempunyai metode, karena untuk mencapai suatu kebenaran yang obyektif
dalam mengungkapkan obyeknya ilmu tidak dapat bekerja secara serampangan.
3.
Ilmu
harus sistematik. Dalam kata lain ilmu harus merupakan kebulatan yang
sistematik atau bersistem.
4.
Ilmu
yang bersifat universal atau berlaku umum.[13]
Inilah sifat ilmiah yang menjadi dasar ilmu pengetahuan dalam
pelaksanaan penelitian.
Berangkat dari paparan di atas, ilmu pengetahuan layak menjadi
bahan penelitian. Oleh karena itu, penelitian sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran harus
didasari oleh proses berpikir ilmiah yang dituangkan dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah adalah kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah.
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode ilmiah mengandung dua unsur
penting yakni pengamatan (observation) dan penalaran (reasoning).
Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa apabila suatu pernyataan ingin
diterima sebagai suatu kebenaran maka pernyataan tersebut harus dapat
diverifikasi atau diuji kebenarannya secara empirik (berdasarkan fakta).
Terdapat empat langkah pokok metode
ilmiah yang akan mendasari langkah-langkah penelitian yaitu:
1. Merumuskan
masalah;
mengajukan pertanyaan untuk dicari jawabannya. Tanpa adanya masalah tidak akan
terjadi penelitian, karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah.
Rumusan masalah penelitian pada umumnya diajukan dalam bentuk pertanyaan.
- Mengajukan hipotesis; mengemukakan jawaban
sementara (masih bersifat dugaan) atas pertanyaan yang diajukan
sebelumnya. Hipotesis penelitian dapat diperoleh dengan mengkaji berbagai
teori berkaitan dengan bidang ilmu yang dijadikan dasar dalam perumusan
masalah. Peneliti menelusuri berbagai konsep, prinsip, generalisasi dari
sejumlah literatur, jurnal dan sumber lain berkaitan dengan masalah yang
diteliti. Kajian terhadap teori merupakan dasar dalam merumuskan kerangka
berpikir sehingga dapat diajukan hipotesis sebagai alternatif jawaban atas
masalah.
- Verifikasi data; mengumpulkan data secara
empiris kemudian mengolah dan menganalisis data untuk menguji kebenaran
hipotesis. Jenis data yang diperlukan diarahkan oleh makna yang tersirat
dalam rumusan hipotesis. Data empiris yang diperlukan adalah data yang
dapat digunakan untuk menguji hipotesis. Dalam hal ini, peneliti harus
menentukan jenis data, dari mana data diperoleh, serta teknik untuk
memperoleh data. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan cara-cara
tertentu yang memenuhi kesahihan dan keterandalan sebagai bahan untuk
menguji hipotesis.
C.
Dasar Postulat dan Asumsi
1.
Postulat
Postulat berasal dari bahasa Latin, postulo, menganggap,
menghendaki; postulatum, tuntutan, keinginan, anggapan.[14]
Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia; Postulat adalah asumsi yang menjadi
pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar;
aksioma.[15]
Jadi, postulat adalah pernyataan yang
diterima tanpa pembuktian dan dapat digunakan sebagai premis pada deduksi.
Ada beberapa hal yang berkaitan
dengan postulat, yaitu:
1. Suatu hipotesis yang dikembangkan sebagai
dasar esensial suatu system berfikir atau premise dari serentetan penalaran.
2.
Dalil yang dianggap benar, kendatipun kebenarannya tidak
dapat dibuktikan.
3.
Pengandaian yang keabsahannya tidak dapat dibuktikan, namun
harus diandalkan supaya dapat memahami gejala dalam rangka kesatuan berfikir.
4.
Dalam matematika, aksioma
3. Asumsi (assumption)
Assumption is something believed to be true without proof.[16]
Asumsi berasal dari bahasa latin, assumo, menerima, menarik, memungut,; assumption,
penerima, pemungutan; assumptivus, mengambil alasan dari luar.[17]
Di sisi lain, asumsi berarti dugaan yang diterima sebagai dasar, landasan
berfikir karena dianggap benar.[18]
Adapun asumsi dalam konteks
penelitian diartikan sebagai anggapan dasar, yaitu suatu pernyataan atau
sesuatu yang diakui kebenarannya atau dianggap benar tanpa harus dibuktikan
lebih dahulu. Asumsi penelitian adalah anggapan-anggapan dasar tentang suatu
hal yang dijadikan pijakan berfikir dan bertindak dalam melaksanakan
penelitian. Misalnya, peneliti mengajukan asumsi bahwa sikap seseorang dapat
diukur dengan menggunakan skala sikap. Dalam hal ini ia tidak perlu membuktikan
kebenaran hal yang diasumsikannya itu, tetapi dapat langsung memanfaatkan hasil
pengukuran sikap yang diperolehnya. Asumsi dapat bersifat substantif atau
metodologis. Asumsi substantif berhubungan dengan permasalahan penelitian,
sedangkan asumsi metodologis berkenaan dengan metodologi penelitian.
Asumsi menjadi dasar dalam pelaksanaan penelitian, ada beberapa hal yang
menjadi cakupannya, yaitu:
1. Fenomena di alam semesta terikat
oleh aturan/hukumdan berada dalam keteraturan tidak kacau (chaos)
2. Manusia mempunyai kemampuan untuk
mengikuti aturan dan keteraturan
3. Setiap fenomena (substansi, kondidi dan proses) ada sebab akibatnya bukan terjadi
secara kebetulan.
4. Pengetahuan ilmiah hanya mampu menggambarkan yg terjadi
secara nyata, apabila pengetahuan itu bersifat empirik (berdasar fakta).
Selain itu, ada beberapa hal yang
berkaitan dengan asumsi, yaitu:
1. Dalam falsafah, penggunaan atau
pengambilan sebagai minor dalam silogisme.
2.
Perkiraan, anggapan, atau pengandaian bahwa sesuatu itu
benar.
3.
Suatu fakta atau pernyataan yang dianggap benar.
4.
Sesuatu yang dianggap tidak mempengaruhi atau dianggap
konstan; konstanta.
Asumsi dalam karya tulis ilmiah menetapkan factor-faktor
yang diawasi sehingga tidak mempengaruhi variable yang sedang diamati. Asumsi
mungkin berhubungan dengan syarat-syarat, kondisi-kondisi, dan tujuan. Asumsi
memberikan hakikat, banetuk, dan arah argumentasi.
Hipotesis dalam ilmu pengetahuan, khususnya karya tulis
ilmiah, dimulai dengan asumsi. Artinya, hipotesis itu bekerja jika hal-hal
lainnya tidak berubah. Karakteristik hipotesis yang kondisional ini berkaitan
dengan sifat dalil, hokum, tesis, atau teori yang bersifat hipotesis diesbabkan
pembentukannya melalui proses abstraksi.
Bentuk asumsi lazim diawali dengan sebuah antiseden dengan
kata-kata seperti “bilamana”, “jikalau”, “anadaikata”, “seandainya”, “apabila”,
“bila”, dan “sekiranya”. Perumusan asumsi dalam karya tulis ilmiah, terutama
untuk membatasi masalah, dan sekaligus membatasi variable-variabel yang akan
diamati. Dalil, hokum, tesis, atau teori yang dihasilkan oleh riset spekulatif
atau riset empiris yang menurut logika formal benar, mungkin tidak realistis
karena dilakukan melalui abstraksi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar
teologis-normatif dalam pelaksanaan penelitian meliputi; Truth Claim, Partikularistik,
Teosentris, Formalistik, Intoleran dan Deduktif.
Sedangkan dasar ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan
penelitian harus bersifat metode ilmiah.
Syarat metode ilmiah itu meliputi; ilmu harus mempunyai obyek, metode, harus
sistematis dan bersifat universal (umum).
Adapun asumsi dalam penelitian harus sesuai dengan fenomena
di alam semesta terikat oleh aturan/hokum dan berada dalam keteraturan tidak
kacau (chaos), sehubungan dengan manusia mempunyai kemampuan untuk
mengikuti aturan dan keteraturan. Setiap fenomena (substansi, kondidi dan proses) ada sebab akibatnya bukan terjadi
secara kebetulan. Dan pengetahuan ilmiah hanya mampu menggambarkan yg terjadi
secara nyata. Apabila pengetahuan itu bersifat empirik (berdasar fakta). Di
sisi lain, postulat juga berperan dalam penelitian. Postulat dalam penelitian
harus berupa suatu hipotesis yang dikembangkan sebagai dasar esensial suatu
system berfikir atau premise dari serentetan penalaran. Dalil yang dianggap
benar, kendatipun kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Pengandaian yang
keabsahannya tidak dapat dibuktikan, namun harus diandalkan supaya dapat
memahami gejala dalam rangka kesatuan berfikir. Dan dalam matematika, aksioma
B. Implikasi
Kebahagiaan
dan kesejahteraan hidup manusia sangat tergantung pada jenis dan tingkat
pengetahuan dan tekhnologi yang dikembangkannya. Sedang perkembangan dan
kemajuan pengetahuan dalam masa modern ini sangat tergantung pula pada
kesediaan para ilmiawan untuk mengungkapkannya. Usaha mengungkapkan pengetahuan
itu didasari oleh sifat ingin tahu yang dimilki manusia. Didorong oleh sifat
ingin tahu itu, manusia berusaha mempergunakan panca indra dan kemampuan
berpikirnya untuk mengenal dan memahami segala sesuatu yang “ada” dan yang
“mungkin ada” di lingkungan sekitarnya.
Dalam
hal ini, membutuhkan cara kerja yang
obyektif dan teliti. Cara kerja seperti itu disebut cara kerja ilmiah, baik
yang dilakukan dengan mempergunakan kemampuan berpikir secara teoritis,
mendalam dan meluas maupun melalui kegiatan penelitian yang berencana dan
terarah terhadap berbagai obyek yang dapat dijangkau manusia.
Cara
kerja ilmiah harus sesuai dengan aturan-aturan (metode) ilmiah. Termasuk di
dalamnya dasar-dasar pelaksanaan penelitian. Dasar penelitian
teologis-normatif, dasar ilmu pengetahuan, Postulat dan Asumsi, dan dasar yang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. Filsafat Kalam di Era Post Modernisme. Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 1995.
. Studi
Agama: Normativitas atau Historisita. Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999.
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian
Agama: Sebuah Pengantar. Yogyakarta;
Tiara Wacana, 1989.
Ali, H.M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori
dan Praktek. Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta;
Balai Pustaka, 2003.
Hamid, Farida. Kamus
Ilmiah Populer Lengkap. Surabaya; Apollo.
Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S. Komaruddin. Kamus Istilah
Karya Tulis Ilmiah. Jakarta; Bumi Aksara, 2002.
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta; Kencana, 2007.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta;
Gadjah Mada University Press, 2001.
Oxford. Oxford Learners’s Pocket dictionary, new edition. New
York; Oxford University Press, 2005.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta; Yayasan
Penerbit Fakultas Psychologi UGM, 1969.
[1] H.M. Sayuthi
Ali, Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan Praktek (Jakarta;
RajaGrafindo Persada, 2002), h. 3
[2] Taufik
Abdullah, M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta; Tiara
Wacana, 1989), h. 1
[3] J. Dwi Narwoko,
Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta; Kencana,
2007), h. 3
[4]
Farida Hamid, Kamus
Ilmiah Populer Lengkap (Surabaya; Apollo), h. 606
[5] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai
Pustaka, 2003), h. 1177
[6] Amin Abdullah, Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999),
h. 10
[7]
Farida Hamid, Kamus
Ilmiah Populer Lengkap (Surabaya; Apollo), h. 432
[8] Amin Abdullah, Filsafat
Kalam di Era Post Modernisme (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1995), h. 48
[9]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai
Pustaka, 2003), h. 423
[10] Hadari Nawawi, Metode
Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2001),
h. 10
[11] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka,
2003), h. 1121
[12] Sutrisno Hadi, Metodologi
Research (Yogyakarta; Yayasan Penerbit Fakultas Psychologi UGM, 1969), h. 1
[13] Hadari Nawawi, Metode
Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2001),
h. 10-11
[14] Komaruddin dan
Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah (Jakarta;
Bumi Aksara, 2002), h. 199
[15] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai
Pustaka, 2003), h. 890
[16] Oxford
Learners’s Pocket dictionary, new edition (New York; Oxford University Press,
2005), p. 21
[17] Komaruddin dan
Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah (Jakarta;
Bumi Aksara, 2002), h. 23
[18] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai
Pustaka, 2003), h. 73