Saturday 27 April 2013

METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL DAN AGAMA


BAB I
PEMBAHASAN

A.     Latar Belakang Masalah

Pada mulanya kegiatan studi kegamaan dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin. Kebanyakan orang berkata; agama tidak boleh diteliti karena agama adalah wahyu Allah yang tidak bisa diutak-atik lagi. Inilah yang menyebabkan penelitian agama di Indonesia pada awal tahun 70-an dianggap sesuatu yang tabu.
Akan tetapi, agama sebagai seperangkat wahyu harus dapat difungsikan dan dirasakan sebagaimana mestinya. Manusia harus mengerti dan memahami substansi nilai yang dikandung di dalamnya. Oleh karena itu, manusia harus melakukan apresiasi intelektual atau penelitian ilmiah atas agama dengan ditopang oleh suatu kerangka metodologi yang tepat.[1]
Seiring perkembangan zaman, akhirnya, sebagian besar orang telah memahami bahwa agama bias diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang berlomba-lomba melakukannya dengan berbagai pendekatan.
Mengkaji fenomena keagamaan berarti mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan beragamanya. Fenomena keagamaan itu sendiri, adalah perwujudan sikap dan prilaku manusia yang menyangkut hal-hal yang dipandang suci, keramat yang beralasan dari suatu keghaiban. Ilmu pengetahuan social dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsure yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu, Sosiologi menyorotinya dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, dan Antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia.[2] Kalau kita mencoba menggambarkannya dalam pendekatan Sosiologi, maka fenomena-fenomena keagamaan itu berakumulasi pada perilaku manusia yang berkaitan dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki.[3]
Pada hakekatnya penelitian diawali dari hasrat keingintahuan peneliti yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan atau permasalahan. Setiap pertanyaan atau per-masalahan  tersebut perlu jawaban atau pemecahan. Dari jawaban dan pemecahan  tersebut peneliti memperoleh pengetahuan yang benar mengenai suatu masalah. Pengetahuan yang benar adalah yang dapat diterima akal dan berdasarkan fakta empirik. Untuk memperolehnya harus mengikuti kaidah-kaidah dan menurut cara-cara bekerjanya akal yang disebut logika, dan dalam pelaksanaannya diwujudkan melalui penalaran.. Pengetahuan yang benar tersebut disebut juga pengetahuan ilmiah atau ilmu. Dengan demikian penelitian  ilmiah adalah suatu metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan menggunakan penalaran. Penalaran tersebut dilaksanakan melalui prosedur logika deduksi dan induksi. Dengan pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk pengembangan pengetahuan dan teknologi, perencanaan pembangunan dan untuk pemecahan masalah-masalah dalam kehidupan manusia.
 Penelitian atau research berasal dari kata re dan  to search yang berarti mencari kembali yang menunjukkan adanya proses berbentuk siklus bersusun yang selalu berkesinambungan.. Penelitian dimulai dari hasrat keingintahuan dan permasalahan, dilanjutkan dengan pengkajian landasan teoritis yang terdapat dalam kepustakaan untuk mendapatkan jawaban sementara atau hipotesis. Selanjutnya direncanakan dan dilakukan pengumpulan data untuk menguji hipotesis yang akan diperoleh kesimpulan dan jawaban permasalahan. Dalam proses pemecahan masalah dan dari jawaban permasalahan tersebut akan timbul permasalahan baru,  sehingga akan terjadi siklus secara berkesinambungan.
Berawal dari gambaran di atas, penulis akan menjelaskan tentang Dasar-dasar Pelaksanaan Penelitian; 1) Dasar Teologis-Normatif, 2) Dasar  Ilmu Pengetahuan, dan 3) Postulat dan Asumsi.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pelaksanaan penelitian dengan dasar Teologis-Normatif?
2.      Bagaimana pelaksanaan penelitian dengan dasar Ilmu Pengetahuan?
3.      Bagaimana pelaksanaan penelitian dengan dasar Postulat dan Asumsi?




                                                                                                                      



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Dasar Teologis-Normatif
1.      Pengertian Teologis Normatif
Teologi secara harfiah berarti teori/studi tentang tuhan.[4] Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia; Teologi adalah pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan Agama, terutama berdasarkan pada kitab suci. Teologis adalah berhubungan dengan teologi; berdasar pada teologi.[5]
Menurut Amin Abdullah, Teologi ialah suatu ilmu yang membahas tentang keyakinan, yaitu sesuatu yang sangta fundamental dalam kehidupan beragama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otiritatif, di mana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis, dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus dimenangkan.[6]
Dalam penelitian agama, teologi yang dimaksud adalah pembebasan materi tentang eksistensi Tuhan dalam sebuah konsep nilai-nilai ketuhanan yang terkonstruksi dengan baik sehingga pada akhirnya menjadi sebuah agama atau aliran kepercayaan.
Adapun Normatif adalah bersifat umum dan lazim; keharusan; menurut norma; prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk hidup bermasyarakat.[7] Jadi, teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Pendekatan teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi pembagian-pembagian umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis ini agama dapat menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial cenderung menjadi lambang atau
 identitas yang tidak memiliki makna. Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
 Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang dianutnya.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat dari suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.

2.      Dasar Teologis-Normatif
Pendekatan teologis adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbul-simbul keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar semertara pihak lain dianggap kurang benar dan bahkan salah. Sedangkan pendekatan normatif adalah pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
Pendekatan teologis normative merupakan salah satu pendekatan teologis dalam upaya memahami agama secara harfiah. Berikut ini, ada beberapa yang menjadi dasar dalam teologis normative diantaranya:
a.       Truth Claim (klaim kebenaran) hanya ada pada ajarannya. Hal ini memiliki korelasi dengan logika Aristoteles yang bersifat clear-cut, hitam-putih dan salah-benar, hanya berbicara tentang dirinya sendiri dan tentang kebenarannya sendiri.
b.      Partikularistik, artinya mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentinngan umum. Mementingkan daerha atau sukunya masing-masing (sukuisme).
c.       Teosentris, menurut Amin Abdullah masih didominasi oleh pemikiran yang bersifat transcendental-spekulatif yang kurang menyinggung masalah-masalah insaniyat (humaniora) yang meliputi kehidupan social, politik dan lain sebagainya.[8]
d.      Formalistik, menekankan bentuk forma atau symbol-symbol keagamaan yang masing-masing mengklaim dirinya yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah.
e.       Intoleran, tidak menghargai pandangan atau kepercayaan orang lain yang berbeda atau yang bertentangan dengan dirinya.
f.       Deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu diperytanyakan terlebih dahulu, melainkan dimulai daari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan Teologis Normatif oleh Charles J. Adams diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Pendekatan Missionaris Tradisional, Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam. Dalam konteks itu karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.
2.      Pendekatan Apologetik. Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah “keasyikannya” (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya. Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi irasional dalam isi.
3.      Pendekatan Irenic. Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara cara pandang para orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut banyak mengandung penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity) merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu: pertama, pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan kepercayaan.

B.     Dasar Ilmu Pengetahuan
Ilmu adalah terjemahan dari kata science, yang berasal dari kata scinre, artinya to know. Ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[9] Ilmu menurut Hadari Nawawi “ kebenaran yang diungkap secara mendalam dengan tidak terlalu menghiraukan kegunaannya menghasilkan pengetahuan.[10] Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui; kepandaian.[11] Jadi, Ilmu pengetahuan merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, sesuatu yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode. Sedangkan menurut Sutrisno Hadi: “Ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lain adalah kumpulan dari pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang yang dipadukan secara harmonic dalam suatu bangunan yang teratur.[12]
Dari defenisi di atas semakin jelas bahwa ilmu selalu mulai dari sesuatu yang kongkrit atau sesuatu yang dapat diamati dan bersifat individual atau khusus. Selanjutnya dengan bantuan kemampuan berfikir yang dapat melampaui batas waktu dan ruang statistika, ilmu dapat sampai pada sesuatu yang abstrak dan bersifat umum. Untuk itu, demi obyektifitas ilmu yang diungkapkan, orang harus bekerja dengan cara-cara ilmiah.
Sifat ilmiah di dalam ilmu dapat diwujudkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Ilmu harus mempunyai objek, karena kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara yang diketahui dengan obyeknya.
2.      Ilmu harus mempunyai metode, karena untuk mencapai suatu kebenaran yang obyektif dalam mengungkapkan obyeknya ilmu tidak dapat bekerja secara serampangan.
3.      Ilmu harus sistematik. Dalam kata lain ilmu harus merupakan kebulatan yang sistematik atau bersistem.
4.      Ilmu yang bersifat universal atau berlaku umum.[13]
Inilah sifat ilmiah yang menjadi dasar ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan penelitian.
Berangkat dari paparan di atas, ilmu pengetahuan layak menjadi bahan penelitian. Oleh karena itu, penelitian sebagai upaya untuk memperoleh kebenaran harus didasari oleh proses berpikir ilmiah yang dituangkan dalam metode ilmiah. Metode ilmiah adalah kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode ilmiah mengandung dua unsur penting yakni pengamatan (observation) dan penalaran (reasoning). Metode ilmiah didasari oleh pemikiran bahwa apabila suatu pernyataan ingin diterima sebagai suatu kebenaran maka pernyataan tersebut harus dapat diverifikasi atau diuji kebenarannya secara empirik (berdasarkan  fakta).
Terdapat empat langkah pokok metode ilmiah yang akan mendasari langkah-langkah penelitian yaitu:
1.      Merumuskan masalah; mengajukan pertanyaan untuk dicari jawabannya. Tanpa adanya masalah tidak akan terjadi penelitian, karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah. Rumusan masalah penelitian pada umumnya diajukan dalam bentuk pertanyaan.
  1. Mengajukan hipotesis; mengemukakan jawaban sementara (masih bersifat dugaan) atas pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Hipotesis penelitian dapat diperoleh dengan mengkaji berbagai teori berkaitan dengan bidang ilmu yang dijadikan dasar dalam perumusan masalah. Peneliti menelusuri berbagai konsep, prinsip, generalisasi dari sejumlah literatur, jurnal dan sumber lain berkaitan dengan masalah yang diteliti. Kajian terhadap teori merupakan dasar dalam merumuskan kerangka berpikir sehingga dapat diajukan hipotesis sebagai alternatif jawaban atas masalah.
  2. Verifikasi data; mengumpulkan data secara empiris kemudian mengolah dan menganalisis data untuk menguji kebenaran hipotesis. Jenis data yang diperlukan diarahkan oleh makna yang tersirat dalam rumusan hipotesis. Data empiris yang diperlukan adalah data yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis. Dalam hal ini, peneliti harus menentukan jenis data,  dari mana data diperoleh, serta teknik untuk memperoleh data. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan cara-cara tertentu yang memenuhi kesahihan dan keterandalan sebagai bahan untuk menguji hipotesis.
C.     Dasar Postulat dan Asumsi
1.      Postulat
Postulat berasal dari bahasa Latin, postulo, menganggap, menghendaki; postulatum, tuntutan, keinginan, anggapan.[14] Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia; Postulat adalah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma.[15] Jadi, postulat adalah pernyataan yang diterima tanpa pembuktian dan dapat digunakan sebagai premis pada deduksi.

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan postulat, yaitu:
1.  Suatu hipotesis yang dikembangkan sebagai dasar esensial suatu system berfikir atau premise dari serentetan penalaran.
2.      Dalil yang dianggap benar, kendatipun kebenarannya tidak dapat dibuktikan.
3.      Pengandaian yang keabsahannya tidak dapat dibuktikan, namun harus diandalkan supaya dapat memahami gejala dalam rangka kesatuan berfikir.
4.      Dalam matematika, aksioma

3.      Asumsi (assumption)
Assumption is something believed to be true without proof.[16] Asumsi berasal dari bahasa latin, assumo, menerima, menarik, memungut,; assumption, penerima, pemungutan; assumptivus, mengambil alasan dari luar.[17] Di sisi lain, asumsi berarti dugaan yang diterima sebagai dasar, landasan berfikir karena dianggap benar.[18]
Adapun asumsi dalam konteks penelitian diartikan sebagai anggapan dasar, yaitu  suatu pernyataan atau sesuatu yang diakui kebenarannya atau dianggap benar tanpa harus dibuktikan lebih dahulu. Asumsi penelitian adalah anggapan-anggapan dasar tentang suatu hal yang dijadikan pijakan berfikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian. Misalnya, peneliti mengajukan asumsi bahwa sikap seseorang dapat diukur dengan menggunakan skala sikap. Dalam hal ini ia tidak perlu membuktikan kebenaran hal yang diasumsikannya itu, tetapi dapat langsung memanfaatkan hasil pengukuran sikap yang diperolehnya. Asumsi dapat bersifat substantif atau metodologis. Asumsi substantif berhubungan dengan permasalahan penelitian, sedangkan asumsi metodologis berkenaan dengan metodologi penelitian.
Asumsi menjadi dasar dalam  pelaksanaan penelitian, ada beberapa hal yang menjadi cakupannya, yaitu:
1.      Fenomena di alam semesta terikat oleh aturan/hukumdan berada dalam keteraturan tidak kacau (chaos)
2.     Manusia mempunyai kemampuan untuk mengikuti aturan dan keteraturan
3.    Setiap fenomena (substansi, kondidi dan  proses) ada sebab akibatnya bukan terjadi secara kebetulan.
4.    Pengetahuan ilmiah hanya mampu menggambarkan yg terjadi secara nyata, apabila pengetahuan itu bersifat empirik (berdasar fakta).
Selain itu, ada beberapa hal yang berkaitan dengan asumsi, yaitu:
1.      Dalam falsafah, penggunaan atau pengambilan sebagai minor dalam silogisme.
2.      Perkiraan, anggapan, atau pengandaian bahwa sesuatu itu benar.
3.      Suatu fakta atau pernyataan yang dianggap benar.
4.      Sesuatu yang dianggap tidak mempengaruhi atau dianggap konstan; konstanta.
Asumsi dalam karya tulis ilmiah menetapkan factor-faktor yang diawasi sehingga tidak mempengaruhi variable yang sedang diamati. Asumsi mungkin berhubungan dengan syarat-syarat, kondisi-kondisi, dan tujuan. Asumsi memberikan hakikat, banetuk, dan arah argumentasi.
Hipotesis dalam ilmu pengetahuan, khususnya karya tulis ilmiah, dimulai dengan asumsi. Artinya, hipotesis itu bekerja jika hal-hal lainnya tidak berubah. Karakteristik hipotesis yang kondisional ini berkaitan dengan sifat dalil, hokum, tesis, atau teori yang bersifat hipotesis diesbabkan pembentukannya melalui proses abstraksi.
Bentuk asumsi lazim diawali dengan sebuah antiseden dengan kata-kata seperti “bilamana”, “jikalau”, “anadaikata”, “seandainya”, “apabila”, “bila”, dan “sekiranya”. Perumusan asumsi dalam karya tulis ilmiah, terutama untuk membatasi masalah, dan sekaligus membatasi variable-variabel yang akan diamati. Dalil, hokum, tesis, atau teori yang dihasilkan oleh riset spekulatif atau riset empiris yang menurut logika formal benar, mungkin tidak realistis karena dilakukan melalui abstraksi.
























BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar teologis-normatif dalam pelaksanaan penelitian meliputi; Truth Claim, Partikularistik, Teosentris, Formalistik, Intoleran dan Deduktif.
Sedangkan dasar ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan penelitian  harus bersifat metode ilmiah. Syarat metode ilmiah itu meliputi; ilmu harus mempunyai obyek, metode, harus sistematis dan bersifat universal (umum).
Adapun asumsi dalam penelitian harus sesuai dengan fenomena di alam semesta terikat oleh aturan/hokum dan berada dalam keteraturan tidak kacau (chaos), sehubungan dengan manusia mempunyai kemampuan untuk mengikuti aturan dan keteraturan. Setiap fenomena (substansi, kondidi dan  proses) ada sebab akibatnya bukan terjadi secara kebetulan. Dan pengetahuan ilmiah hanya mampu menggambarkan yg terjadi secara nyata. Apabila pengetahuan itu bersifat empirik (berdasar fakta). Di sisi lain, postulat juga berperan dalam penelitian. Postulat dalam penelitian harus berupa suatu hipotesis yang dikembangkan sebagai dasar esensial suatu system berfikir atau premise dari serentetan penalaran. Dalil yang dianggap benar, kendatipun kebenarannya tidak dapat dibuktikan. Pengandaian yang keabsahannya tidak dapat dibuktikan, namun harus diandalkan supaya dapat memahami gejala dalam rangka kesatuan berfikir. Dan dalam matematika, aksioma





B.     Implikasi
Kebahagiaan dan kesejahteraan hidup manusia sangat tergantung pada jenis dan tingkat pengetahuan dan tekhnologi yang dikembangkannya. Sedang perkembangan dan kemajuan pengetahuan dalam masa modern ini sangat tergantung pula pada kesediaan para ilmiawan untuk mengungkapkannya. Usaha mengungkapkan pengetahuan itu didasari oleh sifat ingin tahu yang dimilki manusia. Didorong oleh sifat ingin tahu itu, manusia berusaha mempergunakan panca indra dan kemampuan berpikirnya untuk mengenal dan memahami segala sesuatu yang “ada” dan yang “mungkin ada” di lingkungan sekitarnya.
Dalam  hal ini, membutuhkan cara kerja yang obyektif dan teliti. Cara kerja seperti itu disebut cara kerja ilmiah, baik yang dilakukan dengan mempergunakan kemampuan berpikir secara teoritis, mendalam dan meluas maupun melalui kegiatan penelitian yang berencana dan terarah terhadap berbagai obyek yang dapat dijangkau manusia.
Cara kerja ilmiah harus sesuai dengan aturan-aturan (metode) ilmiah. Termasuk di dalamnya dasar-dasar pelaksanaan penelitian. Dasar penelitian teologis-normatif, dasar ilmu pengetahuan, Postulat dan Asumsi, dan dasar yang lain.










DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Amin. Filsafat Kalam di Era Post Modernisme. Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1995.

                             . Studi Agama: Normativitas atau Historisita. Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999.

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian Agama:  Sebuah Pengantar. Yogyakarta; Tiara Wacana, 1989.

Ali, H.M. Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan Praktek. Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Balai Pustaka, 2003.

Hamid, Farida.  Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Surabaya; Apollo.

Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S. Komaruddin. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta; Bumi Aksara, 2002.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta; Kencana, 2007.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2001.

Oxford. Oxford Learners’s Pocket dictionary, new edition. New York; Oxford University Press, 2005.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta; Yayasan Penerbit Fakultas Psychologi UGM, 1969.




[1] H.M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teori dan Praktek (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2002), h. 3
[2] Taufik Abdullah, M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama:  Sebuah Pengantar (Yogyakarta; Tiara Wacana, 1989), h. 1

[3] J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta; Kencana, 2007), h. 3
[4] Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer Lengkap (Surabaya; Apollo), h. 606

[5] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 2003), h. 1177

[6] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1999), h. 10

[7] Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer Lengkap (Surabaya; Apollo), h. 432
[8] Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Post Modernisme (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1995), h. 48
[9]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 2003), h. 423

[10] Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2001), h. 10

[11] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 2003), h. 1121

[12] Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta; Yayasan Penerbit Fakultas Psychologi UGM, 1969), h. 1
[13] Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 2001), h. 10-11

[14] Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah (Jakarta; Bumi Aksara, 2002), h. 199

[15] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 2003), h. 890

[16] Oxford Learners’s Pocket dictionary, new edition (New York; Oxford University Press, 2005), p. 21

[17] Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah (Jakarta; Bumi Aksara, 2002), h. 23

[18] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta; Balai Pustaka, 2003), h. 73