Saturday 27 April 2013

AZYUMARDI AZRA: GAGASAN, PEMIKIRAN, DAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi dewasa ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia pada umumnya, atau pendidikan Islam khususnya pesantren. Argumen panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif.[1] Dengan demikian, pembaruan Islam harus dilakukan seiring dengan perkembangan zaman.
Menurut Fazlur Rahman, pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada realisasi Islam yang asli dan modern harus bermula dari pendidikan.[2] Dengan demikian, pendidikan Islam harus dijadikan sebagai salah satu tema sentral dari agenda rekonstruksi pemikiran ke depan. Sebab, ia merupakan “jantung” yang berdenyut memompakan spirit pembaruan ke seluruh bagian tubuh bangunan pemikiran Islam, agar mampu tumbuh-berkembang secara dinamis-progresif. Dengan kata lain, kemajuan umat Islam akan sulit diwujudkan manakala tidak ditopang oleh kemajuan pendidikan.
Memang harus diakui bahwa, hingga kini pendidikan Islam masih berada dalam posisi problematik. Di satu sisi, pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisasi kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegemonik; sementara di sisi lain, pendidikan Islam juga “dipaksa” untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan.[3]
Kenyataan yang demikian, menurut Azyumardi Azra  perlu segera dicarikan solusinya. Menurutnya, dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan untuk memadukan pendekatan-pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual jangka panjang. Sebab, pendidikan Islam adalah suatu usaha mempersiapkan muslim agar dapat menghadapi dan menjawab tuntutan kehidupan dan perkembangan zaman secara manusiawi. Karena itu, hubungan usaha pedidikan Islam dengan kehidupan dan tantangan itu haruslah merupakan hubungan yang parsial dan bukan hubungan insidental dan tidak menyeluruh.[4] Di sini letak pentingnya sebuah upaya pembenahan dalam sistem pendidikan.
 Di sisi lain, Azyumardi Azra juga memberikan gagasan program modernisasi pendidikan Islam. Azyumardi beranggapan, bahwa mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidak­berdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern.[5] Di sini berarti, bahwa sistem pendidikan Islam harus dapat memberikan disiplin keilmuan yang dapat membantu para lulusannya untuk dapat hidup di masyarakat secara layak. Ini berarti bahwa para lulusan yang diciptakan dapat berperan aktif dan bersikap ofensif terhadap dinamika dan perubahan zaman.
Bertolak dari pemikiran-pemikiran di atas, sehingga permasalahan yang hendak dikaji dalam makalah ini adalah difokuskan pada pemikiran Azyumardi Azra yang berkenaan dengan gagasan pembaruan Islam. Azyumardi Azra dikenal sebagai salah satu tokoh dalam dunia pendidikan Indonesia yang banyak mengungkap permasalahan pendidikan Islam di Indonesia. Olehnya itu, dalam makalah ini akan dibahas pula sosok beliau sebagai tokoh intelektual muslim yang memiliki peranan dalam dunia pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah pokok yang akan dibahas adalah gagasan, pemikiran dan pembaruan Azyumardi Azra dalam pendidikan Islam. Dari pokok permasalahan di atas, terdapat beberapa submasalah yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.    Bagaimana gagasan pendidikan Islam Azyumardi Azra?
2.    Bagaimana pemikiran pendidikan Islam Azyumardi Azra?
3.    Bagaimana pembaruan pendidikan Islam Azyumardi Azra?






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Gagasan Pendidikan Islam Azyumardi Azra
Sebelum membahas gagasan Azyumardi Azra dalam pendidikan Islam, ada baiknya mengungkap biografi Azyumardi Azra terlebih dahulu.
Azyumardi Azra lahir di Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada tanggal 4 Maret 1955. Pendidikan yang ditempuhnya meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, Master of Art (M.A.) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988, Master of Philosophy (M.Phil.) pada Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree (Ph.D) tahun 1992, dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and Eighteenth Centuries.[6] Sejak 2007 sampai sekarang, sebagai guru besar sejarah; dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN, 1998-2002, dan UIN, 2002-2006).[7]
Sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam di Indonesia, Azyumardi Azra juga doktor dan guru besar sejarah, namun pandangannya terhadap pendidikan Islam tidak diragukan lagi. Begitupun dengan gagasan beliau mengenai pendidikan Islam itu sendiri.  
Kata gagasan merupakan kata benda yang berarti hasil pemikiran; ide.[8] Beberapa gagasan atau ide Azyumardi Azra tentang pendidikan Islam telah banyak dimuat dalam beberapa tulisan dan dalam bentuk buku. Diantara gagasan atau ide pendidikan Islam Azyumardi Azra sebagai berikut:
1.    Tujuan Pendidikan Islam
Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab dinyata­kan dengan ghardu atau hadafu atau maqsu>d.[9] Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan dengan goal, direction, destination atau aim.[10] Secara istilah, tujuan adalah arah atau haluan yang hendak dicapai melalui upaya atau aktivitas.
Tujuan pendidikan Islam, menurut Azyumardi Azra ialah terbentuknya kepribadian utama berdasarkan nilai-nilai dan ukuran Islam. Tetapi, seperti pendidikan umum lainnya, tentunya pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang lebih bersifat operasional sehingga dapat dirumuskan tahap-tahap proses pendidikan Islam mencapai tujuan lebih jauh. Tujuan pendidikan Islam yang dimaksud adalah tujuan pertama-tama yang hendak dicapai dalam proses pendidikan itu. Tujuan itu merupakan “tujuan antara” dalam mencapai “tujuan akhir” yang lebih jauh. Tujuan antara itu, menyangkut perubahan yang diinginkan dalam proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan pribadi anak didik, masyarakat maupun lingkungan tempat hidupnya.[11] Tujuan yang dimaksud, yakni tujuan individual, tujuan sosial, dan tujuan profesional.[12] Sedangkan Ahmad D. Marimba menyebutnya dengan tujuan sementara dan tujuan akhir.[13]
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup seorang muslim. Tujuan pendidikan sama dengan tujuan manusia yang menginginkan menjadi manusia yang baik.[14] Tujuan hidup muslim sebagaimana firman Allah dalam QS al-Dhariyat/51: 56.
ÙˆَÙ…َا Ø®َÙ„َÙ‚ْتُ ٱلْجِÙ†َّ ÙˆَٱلْØ¥ِنسَ Ø¥ِÙ„َّا Ù„ِÙŠَعْبُدُونِ ﴿٥٦
Terjemahnya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.[15]
Kemudian dijelaskan juga firman Allah dalam QS Ali-Imran/3: 102.
ÙŠَٰٓØ£َÙŠُّÙ‡َا ٱلَّØ°ِينَ Ø¡َامَÙ†ُوا۟ ٱتَّÙ‚ُوا۟ ٱللَّÙ‡َ Ø­َÙ‚َّ تُÙ‚َاتِÙ‡ِÛ¦ ÙˆَÙ„َا تَÙ…ُوتُÙ†َّ Ø¥ِÙ„َّا ÙˆَØ£َنتُÙ… Ù…ُّسْÙ„ِÙ…ُونَ ﴿١٠٢
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada\-Nya.[16]`
Tujuan hidup muslim sebagaimana dijelaskan ayat-ayat al-Qur’an di atas, yakni untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa dan mengabdi kepada-Nya. Sebagai hamba Allah yang bertakwa, maka segala sesuatu yang diperoleh dalam proses pendidikan Islam itu tidak lain termasuk dalam bagian perwujudan pengabdian kepada Allah swt.[17] Tujuan hidup ini, juga menjadi tujuan akhir pendidikan Islam.
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[18]
Dari kutipan ini, jelaslah bahwa Undang-undang menjamin terwujudnya peserta didik yang beriman dan bertakwa sebagaimana dituntut dalam rumusan tujuan pendidikan.
Muljono Damopolii menyatakan, bahwa perbedaan pendidikan pada umum­nya dengan pendidikan Islam dapat diidentifikasi melalui tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuan pendidikan Nasional hanya mementingkan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, pendidikan Islam lebih dari itu, untuk menggapai kebahagiaan akhirat. Menurut Muljono, hal ini menjadi logis karena pendidikan Islam itu dalam implementasinya bersumber atau didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis yang bukan hanya memberi tuntutan untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga akhirat.[19]
Berangkat dari tujuan-tujuan pendidikan Islam yang disebutkan di atas, jelas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah hasil yang ingin dicapai dari proses pendidikan yang berlandaskan Islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus jelas konsepnya sehingga mampu diukur indikator keberhasilannya.
Menurut Akhdiyat ada beberapa indikator tercapainya tujuan pendidikan Islam, dapat dibagi menjadi tiga tujuan dasar yaitu:
1. Tercapainya peserta didik yang cerdas. Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan intelektualitas yang tinggi.
2.    Tercapainya peserta didik yang memiliki kesabaran atau kesalehan emosional, sehingga tercermin dalam kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
3.    Tercapainya peserta didik yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.[20]
Dalam kehidupan sehari-hari, indikator tercapainya tujuan pendidikan Islam adalah bergaul dengan sesama manusia dengan baik dan benar, serta mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar kepada sesama manusia. Selain itu, juga memiliki kemampuan dan kemauan yang kuat untuk menjalani kehidupan berbekal ilmu-ilmu keislaman yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya, Azyumardi Azra mengerucutkan tujuan pendidikan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Menurut Azra, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan umum/akhir pendidikan Islam.[21]
Adapun tujuan khusus, menurut Azra lebih praxis[22] sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealis ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap penguasaan kognitif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai. Dari tahapan-tahapan inilah kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang lebih terperinci.[23]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan pendidikan secara esensial adalah terwujudnya peserta didik yang memahami ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang kembali kepada fitrahnya dan kepada tujuan kehidupan­nya sebagaimana ia berikrar sebagai manusia yang datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
4.    Kurikulum Pendidikan Islam
Istilah kurikulum pada awal mulanya digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani Kuno. Curriculum berasal dari kata currir, artinya pelari; dan curere, artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang harus ditempuh oleh pelari.[24] Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan.[25] Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.[26]
Kemudian lebih detail Azyumardi Azra menyatakan, bahwa kurikulum merupakan pencapaian tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem evaluasi melalui tahap-tahap penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek; kognitif, afektif, dan psikomotorik.[27] Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[28] Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh peserta didik untuk memperoleh gelar atau ijazah.
Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman perencanaan yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, yaitu mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil).
Perencanaan pendidikan bagi peserta didik muslim baik di Negara mayoritas Islam maupun minoritas memerlukan perombakan radikal dalam bidang kurikulum menyangkut struktur dan mata pelajaran (subject matter). Oleh karena itu, perencanaan pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan permanen, yakni; persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan teknologi dan kebudayaan bersama atas nilai-nilai kemanusiaan.[29] Dengan kata lain, setiap materi yang diberikan kepada peserta didik harus memenuhi dua tantangan pokok: pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; kedua, penanaman pemahaman pengalaman ajaran agama.
Dengan demikian, untuk membahas kurikulum pendidikan Islam seyogianya diarahkan pada:
a.  Orientasi pada perkembangan peserta didik;
b. Orientasi pada lingkungan sosial;
c.  Orientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[30]
Dalam hal ini, pengembangan kurikulum harus memberikan arah dan pedoman untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang disesuaikan dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Selain itu, orientasi kurikulum diarahkan juga untuk memberi kontribusi pada perkembangan sosial, sehingga output-nya mampu menjawab dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Demikian juga, pendiidikan Islam harus berorientasi terhadap ilmu pengetahuan yang memuat sejumlah mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.
Azra menegaskan, bahwa kurikulum pendidikan Islam jelas selain mesti berorientasi kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya dengan cara ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam menyiapkan dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan dalam mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara sistematis dan programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti.[31]
Oleh karena itu, sudah saatnya untuk lebih serius dalam menangani sistem pendidikan Islam. Dengan berusaha mencapai tujuan pendidikan Islam yang  berdasarkan kurikulum pendidikan Islam, yang secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu, berteknologi, berketerampilan tinggi, dan sekaligus beriman dan beramal saleh.
B.  Pemikiran Pendidikan Islam Azyumardi Azra
1.   Demokratisasi Pendidikan Islam
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, dati kata “demos” berarti rakyat dan “crato” berarti pemerintah. Maka demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Jika dihubungkan dengan pendidikan, maka demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan persamaan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap peserta didik dalam proses pendidikan.[32]
Menurut Azyumardi Azra, demokratisasi adalah proses menuju demokrasi. Sedangkan demokratisasi pendidikan menurut Azra, proses menuju demokrasi di bidang pendidikan.[33] Dengan demikian, demokratisasi pendidikan adalah proses menuju demokrasi pendidikan Islam.
Menurut Azra, demokratisasi pendidikan Islam bertujuan akhir pembentukan masyarakat Indonesia yang demokrasi, bersih, bermoral, dan berakhlak serta berpegang teguh pada nilai keadaban. Selain itu, Azra juga mengemukakan beberapa ciri demokratisasi pendidikan Islam, yaitu:
a.    Adanya kurikulum yang dinamis dan memberikan ruang bagi terwujudnya kreatifitas peserta didik, mempunyai semangat untuk melakukan perubaha sosial.
b.    Perubahan paradigma pendidikan Islam, merubah paradigm dari otoriter ke demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktiner ke partisipatoris.
c.    Adanya sinkronisasi antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat.[34]
2.   Modernisasi Pendidikan Islam
Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa gagasan dan program modernisasi pendidikan Islam memiliki akar-akarnya dalam gagasan dan program modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Baginya, modernisasi pemikiran dan kelembagaan merupakan prasyarat kebangkitan kaum muslimin di masa modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi dan diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas.[35] Azra menekankan perlunya dilakukan modernisasi pada segenap aspek kehidupan masyarakat muslim, terlebih terkait dengan konsep pemikiran yang merupakan landasan bagi segenap aktivitas dan ide-ide. Kerangka berpikir selayaknya mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Diperlukan pemikiran yang terbuka dengan wawasan yang luas dan adaptif agar mampu menyeleksi trend dan perkembangan gaya hidup. Dengan pemikiran serta wawasan yang terbuka juga mampu menyaring perkembangan dan kemajuan teknologi yang relevan sebagai bentuk pelayanan terhadap publik.
Hubungan antara modernisasi dan pendidikan menurut Azra, pada satu segi pendidikan dipandang sebagai suatu variabel modernisasi yang merupakan prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan mencapai tujuan-tujuan modernisasi. Tetapi pada segi lain, pendidikan sering dianggap sebagai objek modernisasi. Dalam hal ini, pendidikan negara-negara yang tengah menjalankan program modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, dan karena itu, sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program modernisasi. Karena itu, pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi, sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulnya.[36]
Secara garis besar melihat dari input-uotput dunia pendidikan Islam yang kemudian perlu disentuh dengan "modernisasi" secara umum Azyumardi Azra menggambarkan:
1. Input dari masyarakat ke dalam sistem pendidikan.
a.    Ideologis-normatif: Orientasi-orientasi ideologis tertentu yang diekspresikan dalam norma-norma nasional (Pancasila, misalnya) menuntut sistem pendidikan untuk memperluas dan memperkuat wawasan nasional peserta didik.
b.    Mobilisasi politik: Kebutuhan bagi modernisasi dan pembangunan menuntut sistem pendidikan untuk mendidik, mempersiapkan dan menghasilkan kepemimpinan modernitas dan inovator yang dapat memelihara dan bahkan meningkatkan momentum pembangunan.
c.    Mobilisasi ekonomi: Kebutuhan akan tenaga kerja yang handal menuntut sistem pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi SDM yang unggul dan mampu mengisi berbagai lapangan kerja yang tercipta dalam proses pembangunan. Dalam hal ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak sekedar menjadi lembaga transfer dan transmissi ilmu-ilmu Islam, tetapi sekaligus juga harus dapat memberikan keterampilan (skill) dan keahlian (abilities).
d.    Mobilisasi sosial: Peningkatan harapan bagi mobilitas sosial dalam modernisasi menuntut pendidikan untuk memberikan akses dan venue ke arah tersebut. Dengan demikian, pendidikan Islam bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban menuntut ilmu belaka, tetapi harus juga memberikan modal sehingga kemungkinan akses bagi peningkatan sosial.
e.    Mobilisasi kultur: Modernisasi yang menimbulkan perubahan-perubahan kultur menurut sistem pendidikan untuk mampu memelihara stabilitas dan mengembangkan  warisan cultural yang kondusif bagi pembangunan.
2. Output bagi masyarakat
a.    Perubahan sistem nilai: dengan memperluas peta kognitif peserta didik, maka pendidikan menanamkan nilai-nilai yang merupakan alternatif bagi sistem  nilai tradisional.
b.    Output politik: Kepemimpinan modernitas dan innovator yang secara langsung dihasilkan sistem pendidikan dapat diukur dengan perkembangan kuantitas dan kekuatan birokrasi sipil-militer, intelektual dan kader-kader administrasi politik lainnya, yang direkrut dari lembaga-lembaga pendidikan, terutama pada tingkat menengah dan tinggi.
c.    Output ekonomi: dapat diukur dari tingkat ketersediaan SDM atau tenaga kerja yang terlatih dan siap pakai, baik white collar maupun blue collar.
d.    Output sosial: Dapat dilihat dari tingkat integrasi sosial dan mobilitas peserta didik ke dalam masyarakat secara keseluruhan.
e.    Output kultural: Tercermin dari upaya-upaya pengembangan kebudayaan ilmiah, rasional dan inovatif, peningkatan peran integratif agama dan pengembangan bahasa pendidikan.[37]
Dengan kerangka modernisasi di atas, pendidikan Islam diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dunia modern. Dengan bermodalkan lahirnya lembaga pendidikan Islam yang beronrientasi pada modernisme, melahirkan SDM yang profesional, dan mampu memberikan akses ke arah mobiltas sosial. 
C.  Pembaruan Pendidikan Islam Azyumardi Azra
Pendidikan Islam jelas mempunyai peranan penting dalam peningkatan SDM.  Dalam kerangka fungsi idealnya untuk peningkatan kualitas SDM, sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan dalam masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perubahan. Namun, pendidikan Islam hingga saat ini kelihatan masih terlambat merumuskan diri merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat sekarang dan masa akan datang. Sistem pendidikan Islam tetap lebih cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan, atau kurang bersifat future-orinted.[38] Oleh karena itu, perlu adanya usaha pembaruan dan pengembangan dalam sistem pendidikan Islam.
Kata pembaruan dalam Kamus Bahasa Indonesia, berarti proses, cara, perbuatan membarui.[39] Adapun menurut Muljono Damopolii, pembaruan mengandung prinsip dinamika yang selalu ada dalam gerak langkah kehidupan manusia yang menuntut adanya perubahan secara terus menerus (kontinuitas).[40] Sedangkan menurut Azyumardi Azra, upaya untuk menata kembali struktur-struktur  sosial, politik, pendidikan dan keilmuan yang mapan dan ketinggalan zaman (out dated), termasuk struktur pendidikan Islam, adalah bentuk pembaruan dalam pemikiran dan kelembagaan Islam.[41]
Menurut Azra, dalam pendidikan Islam perlu dikembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan memadukan pendekatan-pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual jangka panjang. Sebab, pendidikan Islam adalah suatu usaha mempersiapkan muslim agar dapat mengahadapi dan menjawab tuntutan kehidupan dan perkembangan zaman secara manusiawi. Karena itu, hubungan usaha pendidikan Islam dengan kehidupan dan tantangan itu haruslah merupakan hubungan yang prinsipal dan bukan hubungan insidental dan tidak menyeluruh. Karena itu, diperlukan pendekatan dan inovasi yang objektif dan kreatif agar dengan demikian tercipta usaha-usaha pendidikan berdasarkan kepentingan peserta didik, masyarakat Islam dan umat manusia secara keseluruhan.[42]
Searah dengan pendapat Azra dan Ramayulis mengemukakan, bahwa pada saat ini dituntut kemampuan proyektif dan inovatif dari semua personil pendidikan Islam dalam menagkap kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di masa depan berdasarkan kondisi dan situasi yang terjadi di dalam masyarakat pada masa sekarang.[43] Oleh karena itu, pendidikan Islam harus direformasi, direstrukturisasi, dan diinovasi agar dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat era pasar bebas.[44]
Lebih lanjut Ramayulis memaparkan lima hal yang harus diperhatikan untuk menghadapi pasar bebas, yaitu:
1.    Lembaga pendidikan Islam harus meningkatkan daya saing dengan sungguh-sungguh dan terencana, sehingga layak bersaing dalam pergaulan internasional.
2.    Lembaga pendidikan Islam membuka program studi yang bervariasi.
3.    Lembaga pendidikan Islam harus memperkuat fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented).
4.     Lembaga pendidikan Islam harus melaksanakan akuntabilitas.
5.    Lembaga pendidikan Islam harus melaksanakan evaluasi secara terus menerus dan berkelanjutan agar jaminan kualitas dapat dipertanggungjawabkan.[45]
Hasil penalaran Azra, bahwa usaha pembaruan dan pengembangan sistem pendidikan Islam selama ini belum maksimal atau tidak komprehensif dan menyeluruh. Karena, sebagian besar sistem pendidikan Islam belum dikelola secara profesional. Kebanyakan lembaga pendidikan Islam masih dikelola dengan semangat “keikhlasan”, sehingga tidak terjadi esensial dalam pendidikan Islam. Tetapi menurutnya, tanpa harus mengorbankan semangat keikhlasan dan jiwa pengabdian, sudah waktunya sistem dan lembaga pendidikan Islam dikelola secara profesional, bukan hanya dalam soal penggajian, pemb;erian honor, tunjangan atau pengelolaan administrasi dan keuangan. Profesionalisme mutlak pula diwujudkan dalam perencanaan, penyiapan tenaga pengajar, kurikulum dan pelaksanaan pendidikan itu sendiri.[46]
Demikian juga menurut Harun Nasution, tidaklah mesti pembaruan itu baru akan terjadi kalau agama sudah ditinggalkan. Pembaruan dapat dilaksanakan dengan tidak meninggalkan agama. Yang perlu ditinggalkan dalam pembaruan adalah tradisi yang bertentangan dengan perkembangan zaman. Islam tidak menghalangi pembaruan selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang dibawa wahyu.[47]
Jadi, pembaruan pendidikan Islam mesti dilakukan tidak hanya sekedar survive di tengah persaingan global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan. Oleh karena itu, pembaruan pendidikan Islam dimulai dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam. Tegasnya adalah pembaruan pendidikan Islam yang didasarkan pada prinsip modern.


                                                                                                                            



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gagasan Azyumardi Azra mengenai pendidikan Islam merupakan hasil pemikiran terhadap pengembagan mutu pendidikan Islam. Gagasan yang dimaksud adalah tujuan dan kurikulum pendidikan Islam.
Adapun mengenai pemikiran Azyumardi Azra terhadap pendidikan Islam yakni perhatiannya terhadap demokratisasi dan modernisasi pendidikan Islam dengan tujuan agar mampu mengangkat martabat lembaga pendidikan islam yang menghasilkan kualitas tinggi.
Dalam hal pembaruan, Azyumardi Azra menitikberatkan pada input dan output pendidikan Islam bagi masyarakat. Dengan memadukan nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.
B. Implikasi
Gagasan, pemikiran, dan pembaruan pendidikan Islam Azyumardi Azra patut menjadi acuan bagi orang-orang yang bergelut dalam dunia pendidikan Islam, terutama kaum akademisi pendidikan Islam. Selain itu, diharapkan para generasi muda mampu melakukan pembaruan dalam dunia pendidikan Islam dalam bentuk aplikatif.


DAFTAR PUSTAKA
Adams, Kimberly dan A. A. Waskito. Kamus Inggris Indonesia; Indonesia Inggris. Jakarta: Kawah Media, 2012.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008.
Azra, Azyumardi.  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
______ . Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
            . Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
            . Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. 2002.
            .Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: 2009.
Damopolii, Muljono. Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  Al- Juma­natul ‘Ali. Bandung: J-Art, 2005.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Munawwir, Ahmad Warson dan Muhammad Faizun.  Al-Munawwir Versi Bahasa Indonesia-Arab. Surabaya: Pustaka Progressif, 2007.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Nata, Abuddin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Oktarina, Yeni. Presentasi Makalah Pemikiran Azyumardi Azra: Demokrastisasi Pendidikan Islam, UII Program Magister Studi Islam.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1997.
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional. Jogjakarta: Laksana, 2012.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.





[1]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 43.
[2]Fazlur Rahman, Islam (Cet. III; Bandung: Pustaka, 1997), h. 84.                                                 
[3]Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2008), h. 6-7.
[4]Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 23.
[5]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 31.
[6]Azyumardi Azra,  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 5.
[7]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 323.
[8]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 327.
[9]Ahmad Warson Munawwir dan Muhammad Faizun,  Al-Munawwir Versi Bahasa Indonesia-Arab (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h. 909.
[10]Kimberly Adams dan A. A. Waskito, Kamus Inggris Indonesia; Indonesia Inggris (Cet. XVI; Jakarta: Kawah Media, 2012), h. 553.
[11]Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 7.
[12]Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: 2009),  h. 191-192.
[13]Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 115.
[14]Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia (Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 76.
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya  Al- Juma­natul ‘Ali (Bandung: J-Art, 2005), h. 524.
[16]Ibid., h. 64.
[17]Azyumardi Azra,  Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 8.
[18]Republik Indonesia, Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional (Cet. I; Jogjakarta: Laksana, 2012), h. 15.
[19]Muljono Damopolii, Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern (Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 54-55.
[20]Hasan Basri, op. cit., h. 189.
[21]Azyumardi Azra,  Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 1999, h. 8.
[22]Praxis/praksis/praktik (bidang kehidupan dan kegiatan praktis manusia). Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 892.
[23]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002, h. 8-9.
[24]Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, op. cit., h. 139.
[25]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 617.
[26]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. IX; Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 149.
[27]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h. 9.
[28]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), h. 70.
[29]Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 8.
[30]Mahmud, op. cit., h. 141.
[31]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h. 66.
[32]Ramayulis, op. cit., h. 334.
[33]Lihat Presentasi Makalah oleh Yeni Oktarina, Pemikiran Azyumardi Azra: Demokrastisasi Pendidikan Islam, UII Program Magister Studi Islam.
[34]Ibid.
[35]Azyumardi Azra,  Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002, h. 31.
[36]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h. 31-32.
[37]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2002, h. 35-36.
[38]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h. 67.
[39]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 109.
[40]Muljono Damopolii, Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern, op. cit., h. 34.
[41]Azyumardi Azra,  Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 1999, h. xv.
[42]Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, 1998, h. 23.
[43]Ramayulis, op. cit., h. 346.
[44]Ibid., h. 350.
[45]Ibid., h. 351-352.
[46]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002, h. 59-60.
[47]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 209.

No comments:

Post a Comment