BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Era globalisasi
dewasa ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim
Indonesia pada umumnya, atau pendidikan Islam khususnya pesantren. Argumen
panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa
menghindarkan diri dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika ingin survive
dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif.[1]
Dengan demikian, pembaruan Islam harus dilakukan seiring dengan perkembangan
zaman.
Menurut Fazlur Rahman,
pembaruan Islam dalam bentuk apapun yang berorientasi pada realisasi Islam yang
asli dan modern harus bermula dari pendidikan.[2] Dengan
demikian, pendidikan Islam harus dijadikan sebagai salah satu tema sentral dari
agenda rekonstruksi pemikiran ke depan. Sebab, ia merupakan “jantung” yang
berdenyut memompakan spirit pembaruan ke seluruh bagian tubuh bangunan
pemikiran Islam, agar mampu tumbuh-berkembang secara dinamis-progresif. Dengan
kata lain, kemajuan umat Islam akan sulit diwujudkan manakala tidak ditopang
oleh kemajuan pendidikan.
Memang harus diakui bahwa,
hingga kini pendidikan Islam masih berada dalam posisi problematik. Di satu
sisi, pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisasi kejayaan
pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegemonik; sementara di sisi
lain, pendidikan Islam juga “dipaksa” untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa
kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis.
Kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem
pendidikan.[3]
Kenyataan
yang demikian, menurut Azyumardi Azra perlu
segera dicarikan solusinya. Menurutnya, dalam pendidikan Islam perlu
dikembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan untuk memadukan
pendekatan-pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan konseptual
jangka panjang. Sebab, pendidikan Islam adalah suatu usaha mempersiapkan muslim
agar dapat menghadapi dan menjawab tuntutan kehidupan dan perkembangan zaman
secara manusiawi. Karena itu, hubungan usaha pedidikan Islam dengan kehidupan
dan tantangan itu haruslah merupakan hubungan yang parsial dan bukan hubungan insidental
dan tidak menyeluruh.[4] Di
sini letak pentingnya sebuah upaya pembenahan dalam sistem pendidikan.
Di sisi lain, Azyumardi Azra juga memberikan
gagasan program modernisasi pendidikan Islam. Azyumardi beranggapan, bahwa
mempertahankan pemikiran kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan
memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslim dalam berhadapan dengan
kemajuan dunia modern.[5] Di
sini berarti, bahwa sistem pendidikan Islam harus dapat memberikan disiplin
keilmuan yang dapat membantu para lulusannya untuk dapat hidup di masyarakat
secara layak. Ini berarti bahwa para lulusan yang diciptakan dapat berperan
aktif dan bersikap ofensif terhadap dinamika dan perubahan zaman.
Bertolak
dari pemikiran-pemikiran di atas, sehingga permasalahan yang hendak dikaji
dalam makalah ini adalah difokuskan pada pemikiran Azyumardi Azra yang
berkenaan dengan gagasan pembaruan Islam. Azyumardi Azra dikenal sebagai salah
satu tokoh dalam dunia pendidikan Indonesia yang banyak mengungkap permasalahan
pendidikan Islam di Indonesia. Olehnya itu, dalam makalah ini akan dibahas pula
sosok beliau sebagai tokoh intelektual muslim yang memiliki peranan dalam dunia
pendidikan Islam.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah pokok yang
akan dibahas adalah gagasan, pemikiran dan pembaruan Azyumardi Azra dalam
pendidikan Islam. Dari pokok permasalahan di atas, terdapat beberapa submasalah
yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana gagasan pendidikan Islam Azyumardi
Azra?
2.
Bagaimana pemikiran pendidikan Islam Azyumardi
Azra?
3.
Bagaimana pembaruan pendidikan Islam Azyumardi
Azra?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gagasan Pendidikan Islam Azyumardi Azra
Sebelum membahas gagasan
Azyumardi Azra dalam pendidikan Islam, ada baiknya mengungkap biografi
Azyumardi Azra terlebih dahulu.
Azyumardi Azra lahir di Lubuk
Alung, Sumatera Barat, pada tanggal 4 Maret 1955. Pendidikan yang ditempuhnya
meliputi Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982, Master of Art (M.A.)
pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988,
Master of Philosophy (M.Phil.) pada Departemen Sejarah, Columbia University
tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree (Ph.D) tahun 1992, dengan disertasi
berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia : Network of
Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama in the Seventeenth and
Eighteenth Centuries.[6]
Sejak 2007 sampai sekarang, sebagai guru besar sejarah; dan Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode
(IAIN, 1998-2002, dan UIN, 2002-2006).[7]
Sebagai salah satu tokoh
pendidikan Islam di Indonesia, Azyumardi Azra juga doktor dan guru besar
sejarah, namun pandangannya terhadap pendidikan Islam tidak diragukan lagi.
Begitupun dengan gagasan beliau mengenai pendidikan Islam itu sendiri.
Kata
gagasan merupakan kata benda yang berarti hasil pemikiran; ide.[8]
Beberapa gagasan atau ide Azyumardi Azra tentang pendidikan Islam telah banyak
dimuat dalam beberapa tulisan dan dalam bentuk buku. Diantara gagasan atau ide
pendidikan Islam Azyumardi Azra sebagai berikut:
1.
Tujuan Pendidikan Islam
Istilah “tujuan” atau
“sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab dinyatakan dengan ghardu atau
hadafu atau maqsu>d.[9]
Sedangkan dalam bahasa Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan dengan goal,
direction, destination atau aim.[10]
Secara istilah, tujuan adalah arah atau haluan yang hendak dicapai melalui
upaya atau aktivitas.
Tujuan pendidikan
Islam, menurut Azyumardi Azra ialah terbentuknya kepribadian utama berdasarkan
nilai-nilai dan ukuran Islam. Tetapi, seperti pendidikan umum lainnya, tentunya
pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang lebih bersifat
operasional sehingga dapat dirumuskan tahap-tahap proses pendidikan Islam
mencapai tujuan lebih jauh. Tujuan pendidikan Islam yang dimaksud adalah tujuan
pertama-tama yang hendak dicapai dalam proses pendidikan itu. Tujuan itu
merupakan “tujuan antara” dalam mencapai “tujuan akhir” yang
lebih jauh. Tujuan antara itu, menyangkut perubahan yang diinginkan dalam
proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan pribadi anak didik, masyarakat
maupun lingkungan tempat hidupnya.[11] Tujuan
yang dimaksud, yakni tujuan individual, tujuan sosial, dan tujuan profesional.[12]
Sedangkan Ahmad D. Marimba menyebutnya dengan tujuan sementara dan tujuan
akhir.[13]
Adapun tujuan akhir
pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup seorang muslim. Tujuan
pendidikan sama dengan tujuan manusia yang menginginkan menjadi manusia yang
baik.[14]
Tujuan hidup muslim sebagaimana firman Allah dalam QS al-Dhariyat/51: 56.
Terjemahnya:
Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.[15]
Kemudian
dijelaskan juga firman Allah dalam QS Ali-Imran/3: 102.
ÙŠَٰٓØ£َÙŠُّÙ‡َا ٱلَّØ°ِينَ Ø¡َامَÙ†ُوا۟ ٱتَّÙ‚ُوا۟ ٱللَّÙ‡َ ØَÙ‚َّ تُÙ‚َاتِÙ‡ِÛ¦ ÙˆَÙ„َا تَÙ…ُوتُÙ†َّ Ø¥ِÙ„َّا ÙˆَØ£َنتُÙ… Ù…ُّسْÙ„ِÙ…ُونَ ﴿Ù¡Ù Ù¢﴾
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada\-Nya.[16]`
Tujuan
hidup muslim sebagaimana dijelaskan ayat-ayat al-Qur’an di atas, yakni untuk
menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa dan mengabdi kepada-Nya.
Sebagai hamba Allah yang bertakwa, maka segala sesuatu yang diperoleh dalam proses
pendidikan Islam itu tidak lain termasuk dalam bagian perwujudan pengabdian
kepada Allah swt.[17]
Tujuan hidup ini, juga menjadi tujuan akhir pendidikan Islam.
Dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan
bahwa:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[18]
Dari
kutipan ini, jelaslah bahwa Undang-undang menjamin terwujudnya peserta didik
yang beriman dan bertakwa sebagaimana dituntut dalam rumusan tujuan pendidikan.
Muljono Damopolii menyatakan, bahwa perbedaan
pendidikan pada umumnya dengan pendidikan Islam dapat diidentifikasi melalui
tujuan yang ingin dicapai. Jika tujuan pendidikan Nasional hanya mementingkan
pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, pendidikan Islam lebih dari itu,
untuk menggapai kebahagiaan akhirat. Menurut Muljono, hal ini menjadi logis
karena pendidikan Islam itu dalam implementasinya bersumber atau didasarkan
pada al-Qur’an dan Hadis yang bukan hanya memberi tuntutan untuk kebahagiaan
dunia, tetapi juga akhirat.[19]
Berangkat dari tujuan-tujuan pendidikan Islam
yang disebutkan di atas, jelas menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam ialah
hasil yang ingin dicapai dari proses pendidikan yang berlandaskan Islam. Oleh karena
itu, pendidikan Islam harus jelas konsepnya sehingga mampu diukur indikator
keberhasilannya.
Menurut Akhdiyat ada beberapa indikator
tercapainya tujuan pendidikan Islam, dapat dibagi menjadi tiga tujuan dasar yaitu:
1. Tercapainya peserta didik yang cerdas.
Ciri-cirinya adalah memiliki tingkat kecerdasan intelektualitas yang tinggi.
2. Tercapainya peserta didik
yang memiliki kesabaran atau kesalehan emosional, sehingga tercermin dalam
kedewasaan menghadapi masalah di kehidupannya.
3. Tercapainya peserta didik
yang memiliki kesalehan spiritual, yaitu menjalankan perintah Allah dan
Rasul-Nya.[20]
Dalam kehidupan sehari-hari, indikator
tercapainya tujuan pendidikan Islam adalah bergaul dengan sesama manusia dengan
baik dan benar, serta mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar kepada sesama
manusia. Selain itu, juga memiliki kemampuan dan kemauan yang kuat untuk
menjalani kehidupan berbekal ilmu-ilmu keislaman yang diridhai Allah dan
Rasul-Nya.
Selanjutnya, Azyumardi Azra mengerucutkan
tujuan pendidikan menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Menurut Azra, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia
dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu
bertakwa kepada-Nya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan
di akhirat. Dalam konteks sosial-masyarakat, bangsa dan negara, maka pribadi
yang bertakwa ini menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil
maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga
sebagai tujuan umum/akhir pendidikan Islam.[21]
Adapun tujuan khusus, menurut Azra lebih praxis[22]
sifatnya, sehingga konsep pendidikan Islam jadinya tidak sekedar idealis
ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Sehingga dapat dirumuskan
harapan-harapan yang ingin dicapai dalam tahap-tahap penguasaan kognitif,
afektif, dan psikomotorik, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah
dicapai. Dari tahapan-tahapan inilah kemudian dapat dicapai tujuan-tujuan yang
lebih terperinci.[23]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan
pendidikan secara esensial adalah terwujudnya peserta didik yang memahami
ilmu-ilmu keislaman dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata
lain, terwujudnya insan kamil, yakni manusia yang kembali kepada
fitrahnya dan kepada tujuan kehidupannya sebagaimana ia berikrar sebagai
manusia yang datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
4.
Kurikulum Pendidikan Islam
Istilah
kurikulum pada awal mulanya digunakan dalam dunia olahraga pada zaman Yunani
Kuno. Curriculum berasal dari kata currir, artinya pelari; dan curere,
artinya tempat berpacu. Curriculum diartikan jarak yang harus ditempuh
oleh pelari.[24]
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga
pendidikan.[25]
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai
pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.[26]
Kemudian
lebih detail Azyumardi Azra menyatakan, bahwa kurikulum merupakan pencapaian
tujuan-tujuan yang lebih terperinci lengkap dengan materi, metode, dan sistem
evaluasi melalui tahap-tahap penguasaan peserta didik terhadap berbagai aspek;
kognitif, afektif, dan psikomotorik.[27]
Pengertian ini sejalan dengan pendapat Crow dan Crow yang dikutip oleh Abuddin
Nata, bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata
pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk
menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.[28]
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh peserta didik untuk memperoleh
gelar atau ijazah.
Jika
diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi
sebagai pedoman perencanaan yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing
peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, yaitu mengacu pada
konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil).
Perencanaan
pendidikan bagi peserta didik muslim baik di Negara mayoritas Islam maupun
minoritas memerlukan perombakan radikal dalam bidang kurikulum menyangkut
struktur dan mata pelajaran (subject matter). Oleh karena itu, perencanaan
pendidikan Islam harus berlandaskan dua nilai pokok dan permanen, yakni;
persatuan fundamental masyarakat Islam tanpa dibatasi ruang dan waktu, dan
persatuan masyarakat internasional berdasarkan kepentingan teknologi dan
kebudayaan bersama atas nilai-nilai kemanusiaan.[29]
Dengan kata lain, setiap materi yang diberikan kepada peserta didik harus
memenuhi dua tantangan pokok: pertama, penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi; kedua, penanaman pemahaman pengalaman ajaran agama.
Dengan
demikian, untuk membahas kurikulum pendidikan Islam seyogianya diarahkan pada:
a. Orientasi pada perkembangan peserta didik;
b. Orientasi pada lingkungan sosial;
c. Orientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.[30]
Dalam
hal ini, pengembangan kurikulum harus memberikan arah dan pedoman untuk
memenuhi kebutuhan peserta didik yang disesuaikan dengan bakat, minat, dan
kemampuannya. Selain itu, orientasi kurikulum diarahkan juga untuk memberi
kontribusi pada perkembangan sosial, sehingga output-nya mampu menjawab
dan mengejawantahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Demikian juga,
pendiidikan Islam harus berorientasi terhadap ilmu pengetahuan yang memuat
sejumlah mata pelajaran dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi.
Azra
menegaskan, bahwa kurikulum pendidikan Islam jelas selain mesti berorientasi
kepada pembinaan dan pengembangan nilai agama dalam diri peserta didik, kini
harus pula memberikan penekanan khusus pada penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Hanya dengan cara ini, pendidikan Islam bisa fungsional dalam
menyiapkan dan membina SDM seutuhnya, yang menguasai iptek dan berkeimanan dalam
mengamalkan agama. Hanya dengan cara ini pula, secara sistematis dan
programatis dapat melakukan pengentasan kemiskinan secara bertahap namun pasti.[31]
Oleh
karena itu, sudah saatnya untuk lebih serius dalam menangani sistem pendidikan
Islam. Dengan berusaha mencapai tujuan pendidikan Islam yang berdasarkan kurikulum pendidikan Islam, yang
secara ideal berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu,
berteknologi, berketerampilan tinggi, dan sekaligus beriman dan beramal saleh.
B. Pemikiran Pendidikan Islam Azyumardi Azra
1. Demokratisasi Pendidikan Islam
Demokrasi berasal dari bahasa
Yunani, dati kata “demos” berarti rakyat dan “crato” berarti pemerintah. Maka
demokrasi adalah pemerintahan di tangan rakyat. Jika dihubungkan dengan
pendidikan, maka demokrasi pendidikan merupakan suatu pandangan yang mengutamakan
persamaan hak, kewajiban dan perlakuan oleh tenaga kependidikan terhadap
peserta didik dalam proses pendidikan.[32]
Menurut Azyumardi Azra,
demokratisasi adalah proses menuju demokrasi. Sedangkan demokratisasi
pendidikan menurut Azra, proses menuju demokrasi di bidang pendidikan.[33]
Dengan demikian, demokratisasi pendidikan adalah proses menuju demokrasi
pendidikan Islam.
Menurut Azra, demokratisasi
pendidikan Islam bertujuan akhir pembentukan masyarakat Indonesia yang
demokrasi, bersih, bermoral, dan berakhlak serta berpegang teguh pada nilai
keadaban. Selain itu, Azra juga mengemukakan beberapa ciri demokratisasi
pendidikan Islam, yaitu:
a.
Adanya kurikulum yang dinamis dan memberikan
ruang bagi terwujudnya kreatifitas peserta didik, mempunyai semangat untuk
melakukan perubaha sosial.
b.
Perubahan paradigma pendidikan Islam, merubah
paradigm dari otoriter ke demokratis, tertutup ke keterbukaan, doktiner ke
partisipatoris.
c.
Adanya sinkronisasi antara lembaga-lembaga
pendidikan Islam dengan lingkungan masyarakat.[34]
2. Modernisasi Pendidikan Islam
Azyumardi Azra menyebutkan, bahwa gagasan dan program
modernisasi pendidikan Islam memiliki akar-akarnya dalam gagasan dan program
modernisasi pemikiran dan institusi Islam secara keseluruhan. Baginya,
modernisasi pemikiran dan kelembagaan merupakan prasyarat kebangkitan kaum
muslimin di masa modern. Karena itu, pemikiran dan kelembagaan
Islam termasuk pendidikan haruslah dimodernisasi dan diperbaharui sesuai dengan
kerangka modernitas.[35] Azra
menekankan perlunya dilakukan modernisasi pada segenap aspek kehidupan
masyarakat muslim, terlebih terkait dengan konsep pemikiran yang merupakan
landasan bagi segenap aktivitas dan ide-ide. Kerangka berpikir selayaknya mengalami
perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Diperlukan pemikiran
yang terbuka dengan wawasan yang luas dan adaptif agar mampu menyeleksi trend
dan perkembangan gaya hidup. Dengan pemikiran serta wawasan yang terbuka juga
mampu menyaring perkembangan dan kemajuan teknologi yang relevan sebagai bentuk
pelayanan terhadap publik.
Hubungan
antara modernisasi dan pendidikan menurut Azra, pada satu segi pendidikan
dipandang sebagai suatu variabel modernisasi yang merupakan prasyarat dan
kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan mencapai tujuan-tujuan
modernisasi. Tetapi pada segi lain, pendidikan sering dianggap sebagai objek
modernisasi. Dalam hal ini, pendidikan negara-negara yang tengah menjalankan
program modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai
hal, dan karena itu, sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program
modernisasi. Karena itu, pendidikan harus diperbarui atau dimodernisasi,
sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulnya.[36]
Secara garis
besar melihat dari input-uotput dunia pendidikan Islam yang kemudian perlu
disentuh dengan "modernisasi" secara umum Azyumardi Azra
menggambarkan:
1. Input dari masyarakat ke
dalam sistem pendidikan.
a.
Ideologis-normatif:
Orientasi-orientasi ideologis tertentu yang diekspresikan dalam norma-norma
nasional (Pancasila, misalnya) menuntut sistem pendidikan untuk memperluas dan
memperkuat wawasan nasional peserta didik.
b.
Mobilisasi politik: Kebutuhan
bagi modernisasi dan pembangunan menuntut sistem pendidikan untuk mendidik,
mempersiapkan dan menghasilkan kepemimpinan modernitas dan inovator yang dapat memelihara
dan bahkan meningkatkan momentum pembangunan.
c.
Mobilisasi ekonomi: Kebutuhan
akan tenaga kerja yang handal menuntut sistem pendidikan untuk mempersiapkan
peserta didik menjadi SDM yang unggul dan mampu mengisi berbagai lapangan kerja
yang tercipta dalam proses pembangunan. Dalam hal ini, lembaga-lembaga
pendidikan Islam tidak sekedar menjadi lembaga transfer dan transmissi
ilmu-ilmu Islam, tetapi sekaligus juga harus dapat memberikan keterampilan (skill)
dan keahlian (abilities).
d.
Mobilisasi sosial: Peningkatan
harapan bagi mobilitas sosial dalam modernisasi menuntut pendidikan untuk
memberikan akses dan venue ke arah tersebut. Dengan demikian, pendidikan
Islam bukan sekedar untuk memenuhi kewajiban menuntut ilmu belaka, tetapi harus
juga memberikan modal sehingga kemungkinan akses bagi peningkatan sosial.
e.
Mobilisasi kultur: Modernisasi
yang menimbulkan perubahan-perubahan kultur menurut sistem pendidikan untuk
mampu memelihara stabilitas dan mengembangkan
warisan cultural yang kondusif bagi pembangunan.
2. Output bagi masyarakat
a.
Perubahan sistem nilai: dengan memperluas peta
kognitif peserta didik, maka pendidikan menanamkan nilai-nilai yang merupakan
alternatif bagi sistem nilai
tradisional.
b.
Output politik: Kepemimpinan modernitas dan
innovator yang secara langsung dihasilkan sistem pendidikan dapat diukur dengan
perkembangan kuantitas dan kekuatan birokrasi sipil-militer, intelektual dan
kader-kader administrasi politik lainnya, yang direkrut dari lembaga-lembaga
pendidikan, terutama pada tingkat menengah dan tinggi.
c.
Output ekonomi: dapat diukur dari tingkat
ketersediaan SDM atau tenaga kerja yang terlatih dan siap pakai, baik white
collar maupun blue collar.
d.
Output sosial: Dapat dilihat dari tingkat
integrasi sosial dan mobilitas peserta didik ke dalam masyarakat secara
keseluruhan.
e.
Output kultural: Tercermin dari upaya-upaya
pengembangan kebudayaan ilmiah, rasional dan inovatif, peningkatan peran
integratif agama dan pengembangan bahasa pendidikan.[37]
Dengan kerangka modernisasi
di atas, pendidikan Islam diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dunia modern.
Dengan bermodalkan lahirnya lembaga pendidikan Islam yang beronrientasi pada
modernisme, melahirkan SDM yang profesional, dan mampu memberikan akses ke arah
mobiltas sosial.
C. Pembaruan Pendidikan Islam Azyumardi Azra
Pendidikan Islam jelas
mempunyai peranan penting dalam peningkatan SDM. Dalam kerangka fungsi idealnya untuk peningkatan
kualitas SDM, sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasikan diri
untuk menjawab kebutuhan dan tantangan dalam masyarakat sebagai konsekuensi
logis dari perubahan. Namun, pendidikan Islam hingga saat ini kelihatan masih
terlambat merumuskan diri merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan
masyarakat sekarang dan masa akan datang. Sistem pendidikan Islam tetap lebih
cenderung berorientasi ke masa silam ketimbang berorientasi ke masa depan, atau
kurang bersifat future-orinted.[38]
Oleh karena itu, perlu adanya usaha pembaruan dan pengembangan dalam sistem
pendidikan Islam.
Kata pembaruan dalam Kamus
Bahasa Indonesia, berarti proses, cara, perbuatan membarui.[39] Adapun
menurut Muljono Damopolii, pembaruan mengandung prinsip dinamika yang selalu
ada dalam gerak langkah kehidupan manusia yang menuntut adanya perubahan secara
terus menerus (kontinuitas).[40]
Sedangkan menurut Azyumardi Azra, upaya untuk menata kembali
struktur-struktur sosial, politik,
pendidikan dan keilmuan yang mapan dan ketinggalan zaman (out dated),
termasuk struktur pendidikan Islam, adalah bentuk pembaruan dalam pemikiran dan
kelembagaan Islam.[41]
Menurut Azra, dalam
pendidikan Islam perlu dikembangkan strategi pendekatan ganda dengan tujuan
memadukan pendekatan-pendekatan situasional jangka pendek dengan pendekatan
konseptual jangka panjang. Sebab, pendidikan Islam adalah suatu usaha
mempersiapkan muslim agar dapat mengahadapi dan menjawab tuntutan kehidupan dan
perkembangan zaman secara manusiawi. Karena itu, hubungan usaha pendidikan
Islam dengan kehidupan dan tantangan itu haruslah merupakan hubungan yang
prinsipal dan bukan hubungan insidental dan tidak menyeluruh. Karena itu,
diperlukan pendekatan dan inovasi yang objektif dan kreatif agar dengan
demikian tercipta usaha-usaha pendidikan berdasarkan kepentingan peserta didik,
masyarakat Islam dan umat manusia secara keseluruhan.[42]
Searah dengan pendapat Azra
dan Ramayulis mengemukakan, bahwa pada saat ini dituntut kemampuan proyektif
dan inovatif dari semua personil pendidikan Islam dalam menagkap
kecenderungan-kecenderungan yang terjadi di masa depan berdasarkan kondisi dan
situasi yang terjadi di dalam masyarakat pada masa sekarang.[43]
Oleh karena itu, pendidikan Islam harus direformasi, direstrukturisasi, dan
diinovasi agar dapat menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan dapat
memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat era pasar bebas.[44]
Lebih lanjut Ramayulis
memaparkan lima hal yang harus diperhatikan untuk menghadapi pasar bebas,
yaitu:
1.
Lembaga pendidikan Islam harus meningkatkan
daya saing dengan sungguh-sungguh dan terencana, sehingga layak bersaing dalam
pergaulan internasional.
2.
Lembaga pendidikan Islam membuka program studi
yang bervariasi.
3.
Lembaga pendidikan Islam harus memperkuat
fungsi-fungsi kritis dan berorientasi ke masa depan (future oriented).
4.
Lembaga
pendidikan Islam harus melaksanakan akuntabilitas.
5.
Lembaga pendidikan Islam harus melaksanakan
evaluasi secara terus menerus dan berkelanjutan agar jaminan kualitas dapat
dipertanggungjawabkan.[45]
Hasil penalaran Azra, bahwa
usaha pembaruan dan pengembangan sistem pendidikan Islam selama ini belum
maksimal atau tidak komprehensif dan menyeluruh. Karena, sebagian besar sistem
pendidikan Islam belum dikelola secara profesional. Kebanyakan lembaga
pendidikan Islam masih dikelola dengan semangat “keikhlasan”, sehingga tidak
terjadi esensial dalam pendidikan Islam. Tetapi menurutnya, tanpa harus
mengorbankan semangat keikhlasan dan jiwa pengabdian, sudah waktunya sistem dan
lembaga pendidikan Islam dikelola secara profesional, bukan hanya dalam soal
penggajian, pemb;erian honor, tunjangan atau pengelolaan administrasi dan
keuangan. Profesionalisme mutlak pula diwujudkan dalam perencanaan, penyiapan
tenaga pengajar, kurikulum dan pelaksanaan pendidikan itu sendiri.[46]
Demikian juga menurut Harun
Nasution, tidaklah mesti pembaruan itu baru akan terjadi kalau agama sudah
ditinggalkan. Pembaruan dapat dilaksanakan dengan tidak meninggalkan agama.
Yang perlu ditinggalkan dalam pembaruan adalah tradisi yang bertentangan dengan
perkembangan zaman. Islam tidak menghalangi pembaruan selama tidak melanggar
ketentuan-ketentuan yang dibawa wahyu.[47]
Jadi, pembaruan pendidikan
Islam mesti dilakukan tidak hanya sekedar survive di tengah persaingan
global yang semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di
depan. Oleh karena itu, pembaruan pendidikan Islam dimulai dari sistem dan
kelembagaan pendidikan Islam. Tegasnya adalah pembaruan pendidikan Islam yang
didasarkan pada prinsip modern.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gagasan Azyumardi Azra mengenai
pendidikan Islam merupakan hasil pemikiran terhadap pengembagan mutu pendidikan
Islam. Gagasan yang dimaksud adalah tujuan dan kurikulum pendidikan Islam.
Adapun
mengenai pemikiran Azyumardi Azra terhadap pendidikan Islam yakni perhatiannya
terhadap demokratisasi dan modernisasi pendidikan Islam dengan tujuan agar
mampu mengangkat martabat lembaga pendidikan islam yang menghasilkan kualitas
tinggi.
Dalam
hal pembaruan, Azyumardi Azra menitikberatkan pada input dan output pendidikan
Islam bagi masyarakat. Dengan memadukan nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai
yang berorientasi ke masa depan.
B. Implikasi
Gagasan, pemikiran, dan
pembaruan pendidikan Islam Azyumardi Azra patut menjadi acuan bagi orang-orang
yang bergelut dalam dunia pendidikan Islam, terutama kaum akademisi pendidikan
Islam. Selain itu, diharapkan para generasi muda mampu melakukan pembaruan dalam
dunia pendidikan Islam dalam bentuk aplikatif.
DAFTAR PUSTAKA
Adams,
Kimberly dan A. A. Waskito. Kamus Inggris Indonesia; Indonesia Inggris. Jakarta:
Kawah Media, 2012.
Arif,
Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta,
2008.
Azra,
Azyumardi. Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan
Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Basri, Hasan.
Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: 2009.
Damopolii, Muljono.
Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya Al- Jumanatul ‘Ali. Bandung:
J-Art, 2005.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2003.
Mahmud, Pemikiran
Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Munawwir,
Ahmad Warson dan Muhammad Faizun. Al-Munawwir
Versi Bahasa Indonesia-Arab. Surabaya: Pustaka Progressif, 2007.
Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang, 1992.
Nata, Abuddin.
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Oktarina, Yeni. Presentasi Makalah
Pemikiran Azyumardi Azra: Demokrastisasi Pendidikan Islam, UII Program
Magister Studi Islam.
Rahman,
Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1997.
Ramayulis. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Republik
Indonesia, Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jogjakarta: Laksana, 2012.
Tafsir, Ahmad.
Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu
Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
[1]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet. IV; Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 43.
[2]Fazlur Rahman, Islam (Cet.
III; Bandung: Pustaka, 1997), h. 84.
[3]Mahmud
Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Cet. I; Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara Yogyakarta, 2008), h. 6-7.
[4]Azyumardi
Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Cet. I;
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 23.
[5]Azyumardi
Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Cet.
I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 31.
[6]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di
Indonesia (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1998), h. 5.
[7]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (Cet. I;
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 323.
[8]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta:
Balai Pustaka, 2003), h. 327.
[9]Ahmad
Warson Munawwir dan Muhammad Faizun, Al-Munawwir
Versi Bahasa Indonesia-Arab (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progressif, 2007),
h. 909.
[10]Kimberly
Adams dan A. A. Waskito, Kamus Inggris Indonesia; Indonesia Inggris (Cet.
XVI; Jakarta: Kawah Media, 2012), h. 553.
[12]Hasan
Basri, Filsafat Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: 2009), h. 191-192.
[13]Mahmud,
Pemikiran Pendidikan Islam (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2011), h.
115.
[14]Ahmad
Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu
Memanusiakan Manusia (Cet. IV; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 76.
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya Al- Jumanatul ‘Ali (Bandung:
J-Art, 2005), h. 524.
[18]Republik
Indonesia, Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Cet. I;
Jogjakarta: Laksana, 2012), h. 15.
[19]Muljono
Damopolii, Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern (Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 54-55.
[20]Hasan Basri, op. cit., h.
189.
[21]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, 1999, h. 8.
[22]Praxis/praksis/praktik (bidang
kehidupan dan kegiatan praktis manusia). Lihat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 892.
[23]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002, h. 8-9.
[24]Mahmud, Pemikiran Pendidikan
Islam, op. cit., h. 139.
[25]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 617.
[26]Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam (Cet. IX; Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 149.
[27]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h.
9.
[28]Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Cet. III; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003), h. 70.
[29]Azyumardi Azra, Esei-esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 8.
[30]Mahmud,
op. cit., h. 141.
[31]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h.
66.
[32]Ramayulis, op. cit., h.
334.
[33]Lihat Presentasi Makalah oleh
Yeni Oktarina, Pemikiran Azyumardi Azra: Demokrastisasi Pendidikan Islam, UII
Program Magister Studi Islam.
[35]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, 2002, h. 31.
[36]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h.
31-32.
[37]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2002, h.
35-36.
[38]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, 2012, h.
67.
[39]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 109.
[40]Muljono Damopolii, Pesantren
Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern, op. cit., h. 34.
[41]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, 1999, h. xv.
[42]Azyumardi Azra, Esei-esei
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, 1998, h. 23.
[43]Ramayulis, op. cit., h.
346.
[46]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, 2002, h. 59-60.
[47]Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan gerakan (Cet. IX; Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h. 209.
No comments:
Post a Comment